Rabu, 24 April 2013

KEYAKINAN vs PERSEPSI


Saya teringat dengan sebuah ungkapan yang disampaikan oleh guru kami pada pengajian kemarin, 'Persepsi itu berasal atau terpengaruh oleh fakta, untuk merubah persepsi yang sudah ada, maka di perlukan sebuah keyakinan yang mampu membuat fakta baru'.

Misalnya Perang Badar, awalnya orang berpikiran bahwa pasukan dengan personil 300 orang, pasti kalah dengan pasukan yang berjumlah 1000 orang, karena fakta umumnya seperti itu. Tetapi fakta umum ini terbantahkan ketika dimana Muhammad Rasululloh mempunyai keyakinan bisa menang dalam perang badar walaupun dengan pasukan yang lebih kecil dengan pertolongan Alloh swt. Akhirnya keyakinan Rasululloh ini menjadi fakta baru dengan kemenangan kaum muslimin yang berjumlah 300 orang melawan kaum musyrikin yang berjumlah 1000 orang. Kemenangan perang badar ikut merubah persepsi umum bahwa hal yang kecil pun ternyata bisa mengalahkan sesuatu yang lebih besar asalkan hal yang kecil itu mempunyai keyakinan yang kuat.

Kebetulan guru kami saat ini ingin mencalonkan diri menjadi presiden, sedangkan fakta saat ini kalau ingin menjadi presiden maka harus di usung oleh partai, sedangkan guru kami dari jalur independen, dan persepsi umum kalau ingin menjadi presiden maka harus punya modal besar dan populer, sedangkan guru kami hanya orang biasa dan tidak mempunyai dua hal tadi. Tetapi beliau mempunyai keyakinan, dan keyakinan ini (dengan bantuan Allah) ingin beliau buktikan menjadi fakta yang baru, sehingga merubah persepsi yang sudah ada saat ini.

Ada sebuah kisah menarik tentang keyakinan yang mampu membuat fakta baru sehingga merubah persepsi yang ada:

Ada empat anak yang baru saja mengalami duka setelah kematian kedua orang tuanya. Sebuah surat wasiat pun mereka terima dari orang yang mereka cintai itu. Setelah urusan jenazah kedua orang tuanya selesai, empat anak itu pun membuka surat berharga itu.

Ternyata, surat itu menyebutkan bahwa keempat anak itu diberikan pilihan untuk memiliki empat bidang tanah yang berlainan tempat. Ada bidang tanah yang begitu hijau dengan begitu banyak pepohonan kayu yang bisa dijual. Ada bidang tanah yang berada di tepian sungai jernih, sangat cocok untuk ternak berbagai jenis ikan. Ada juga bidang tanah yang sudah menghampar sawah padi dan ladang. Ada satu bidang tanah lagi yang sangat tidak menarik: tanah tandus dengan tumpukan pasir-pasir kering di atasnya.

Menariknya, surat itu diakhiri dengan sebuah kalimat: beruntunglah yang memilih tanah tandus.
Anak pertama memilih tanah pepohonan hijau. Anak kedua pun langsung memilih tanah dengan aliran sungai jernih. Begitu pun dengan yang ketiga, ia merasa berhak untuk memilih tanah yang ketiga dengan hamparan sawah dan ladangnya. Dan tinggallah anak yang keempat dengan tanah tandusnya.

“Apa engkau kecewa, adikku, dengan tanah tandus yang menjadi hakmu?” ucap para kakak kepada si bungsu.

Di luar dugaan, si bungsu hanya senyum. Ia pun berujar, “Aku yakin, pesan ayah dan ibu tentang tanah tandus itu benar adanya. Yah, justru, aku sangat senang!”

Mulailah masing-masing anak menekuni warisan peninggalan kedua orang tuanya dengan begitu bersemangat. Termasuk si bungsu yang masih bingung mengolah tanah tandus pilihannya.

Hari berganti hari, waktu terus berputar, dan hinggalah hitungan tahun. Tiga anak penerima warisan begitu bahagia dengan tanah subur yang mereka dapatkan. Tinggallah si bungsu yang masih sibuk mencari-cari, menggali dan terus menggali, kelebihan dari tanah tandus yang ia dapatkan. Tapi, ia belum juga berhasil.

Hampir saja ia putus asa. Ia masih bingung dengan manfaat tanah tandus yang begitu luas itu. Sementara, kakak-kakak mereka sudah bernikmat-nikmat dengan tanah-tanah tersebut. “Aku yakin, ayah dan ibu menulis pesan yang benar. Tapi di mana keberuntungannya?” bisik hati si bungsu dalam kerja kerasnya.

Suatu kali, ketika ia terlelah dalam penggalian panjang tanah tandus itu, hujan pun mengguyur. Karena tak ada pohon untuk berteduh, si bungsu hanya berlindung di balik gundukan tanah galian yang banyak mengandung bebatuan kecil. Tiba-tiba, matanya dikejutkan dengan kilauan batu-batu kecil di gundukan tanah yang tergerus guyuran air hujan.

“Ah, emas! Ya, ini emas!” teriak si bungsu setelah meneliti bebatuan kecil yang sebelumnya tertutup tanah keras itu. Dan entah berapa banyak emas lagi yang bersembunyi di balik tanah tandus yang terkesan tidak menarik itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar